ilustrasu: Mitch Pacwa |
Dalam Islam, qurban tidak sekadar
memiliki dimensi religius, yang menghubungkan makhluk dengan Allah, Pencipta
alam semesta. Qurban bukan sekada ritus penyembelihan binatang dan aktivitas
membagikan hewan kepada mereka yang tidak mampu. Namun memiliki dimensi sosial.
Qurban juga memiliki akar sejarah yang demikian kuat dan memiliki posisi vital
ditengah-tengah masyarakat.
Berhubungan dengan sejarah qurban
seperti yang umum diketahui oleh umat Islam tentang awalnya syariat kurban
diturunkan, ada satu kisah yang menarik dari Rasulullah sehingga beliau
menyatakan dirinya sebagai anak dua sembelihan.
Kisahnya ketika ayah beliau, Abdullah
bin Abdul Muthalib belum dilahirkan. Kakek beliau, Abdul Muthalib, pernah
bernazar bahwa, jika anaknya laki-laki sudah berjumlah sepuluh orang, salah
seorang di atara mereka akan dijadikan qurban.
Setelah istri Abdul Muthalib
melahirkan lagi anak laki-laki, genaplah anak laki-lakinya sepuluh orang. Anak
laki-laki yang kesepuluh tidaklah diberi nama dengan nama-nama yang biasa, tapi
diberi nama dengan nama yang arti dan maksudnya berlainan sekali, yaitu dengan
nama “Abdullah”, yang artinya “hamba Allah”.
Setelah beberapa tahun kemudian tidak
nampak juga tanda-tanda Abdul Muthalib akan menyempurnakan nazarnya. Hingga
pada suatu hari dia mendapat tanda-tanda yang tidak dia diduga-duda untuk
menyempurnakan nazarnya. Oleh sebab itu bulatlah keinginannya agar salah
seorang diantara anak laki-lakinya dijadikan qurban dengan cara disembelih.
Sebelum pengurbanan itu dilaksanakan,
dia lebih dulu mengumpulkan semua anak laki-lakinya dan mengadakan undian. Pada
saat itu undian jatuhpada diri Abdullah, padahal Abdullah anak yang paling
muda, yang paling bagus wajahnya dan yang paling disayangi dan dicintai. Tetapi
apa boleh buat, kenyataannya undian jatuh pada padanya, dan itu harus
dilaksanakan.
Seketika tersiar sabar di seluruh kota
Makkah bahwa Abdul Muthalib hendak mengurbankan anaknya yang paling muda. Maka
datanglah seorang kepala agama, penjaga ka’bah, menemui Abdul Muthalib, untuk
menghalang-halangi apa yang akan diperbuat Abdul Mutthalib.
Kepala agama itu memperingatkan untuk
tidak melakukan perbuatan tersebut. Jika hal itu sampai dilaksanakan, sudah
tentu kelak dicontoh oleh orang banyak, karena Abdul Muthalib adalah seorang
wali negeri pada masa itu dan dia mempunyai pengaruh yang sangat besar di kota
Makkah. Oleh sebab itu, apa yang akan dilakukannya tentu akan jadi panutan bagi
warga lain. si pemuka agama ini mengusulkan agar nazar tersebut diganti saja
dengan menyembeli seratus ekor unta.
Berhubung kepala agama penjaga
Masjidil Haram telah memperkenankan bahwa nazal Abdul Muthalib cukup ditebus
dengan seratus ekor unta, disembelillah oleh Abdul Muthalib seratus ekor untah
di muka ka’bah. Dengan demikian Abdulah urung jadi qurban.
Karena peristiwa itu pada waktu nabi
SAW telah beberapa tahun lamanya menjadi utusan Allah, Rasulullah pernah
bersabada, “Aku adalah anak laki-laki dari dua orang disembelih.” Maksud
Rasulullah, beliau adalah keturunan dari nabi Ismail AS, yang juga akan
disembelih tapi lalu diganti Allah dengan kibar, dan anak Abdullah, yang juga
akan disembelih tapi kemudian diganti dengan seratus ekor unta.
Dikutip Majalah Yatim Mandiri/Edisi September 2017