cerita

Sayidina Abdullah Diqurbankan

17.12

laki-laki berjalan di atas air
ilustrasu: Mitch Pacwa

Dalam Islam, qurban tidak sekadar memiliki dimensi religius, yang menghubungkan makhluk dengan Allah, Pencipta alam semesta. Qurban bukan sekada ritus penyembelihan binatang dan aktivitas membagikan hewan kepada mereka yang tidak mampu. Namun memiliki dimensi sosial. Qurban juga memiliki akar sejarah yang demikian kuat dan memiliki posisi vital ditengah-tengah masyarakat.

Berhubungan dengan sejarah qurban seperti yang umum diketahui oleh umat Islam tentang awalnya syariat kurban diturunkan, ada satu kisah yang menarik dari Rasulullah sehingga beliau menyatakan dirinya sebagai anak dua sembelihan.

Kisahnya ketika ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muthalib belum dilahirkan. Kakek beliau, Abdul Muthalib, pernah bernazar bahwa, jika anaknya laki-laki sudah berjumlah sepuluh orang, salah seorang di atara mereka akan dijadikan qurban.

Setelah istri Abdul Muthalib melahirkan lagi anak laki-laki, genaplah anak laki-lakinya sepuluh orang. Anak laki-laki yang kesepuluh tidaklah diberi nama dengan nama-nama yang biasa, tapi diberi nama dengan nama yang arti dan maksudnya berlainan sekali, yaitu dengan nama “Abdullah”, yang artinya “hamba Allah”.

Setelah beberapa tahun kemudian tidak nampak juga tanda-tanda Abdul Muthalib akan menyempurnakan nazarnya. Hingga pada suatu hari dia mendapat tanda-tanda yang tidak dia diduga-duda untuk menyempurnakan nazarnya. Oleh sebab itu bulatlah keinginannya agar salah seorang diantara anak laki-lakinya dijadikan qurban dengan cara disembelih.

Sebelum pengurbanan itu dilaksanakan, dia lebih dulu mengumpulkan semua anak laki-lakinya dan mengadakan undian. Pada saat itu undian jatuhpada diri Abdullah, padahal Abdullah anak yang paling muda, yang paling bagus wajahnya dan yang paling disayangi dan dicintai. Tetapi apa boleh buat, kenyataannya undian jatuh pada padanya, dan itu harus dilaksanakan.

Seketika tersiar sabar di seluruh kota Makkah bahwa Abdul Muthalib hendak mengurbankan anaknya yang paling muda. Maka datanglah seorang kepala agama, penjaga ka’bah, menemui Abdul Muthalib, untuk menghalang-halangi apa yang akan diperbuat Abdul Mutthalib.

Kepala agama itu memperingatkan untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Jika hal itu sampai dilaksanakan, sudah tentu kelak dicontoh oleh orang banyak, karena Abdul Muthalib adalah seorang wali negeri pada masa itu dan dia mempunyai pengaruh yang sangat besar di kota Makkah. Oleh sebab itu, apa yang akan dilakukannya tentu akan jadi panutan bagi warga lain. si pemuka agama ini mengusulkan agar nazar tersebut diganti saja dengan menyembeli seratus ekor unta.

Berhubung kepala agama penjaga Masjidil Haram telah memperkenankan bahwa nazal Abdul Muthalib cukup ditebus dengan seratus ekor unta, disembelillah oleh Abdul Muthalib seratus ekor untah di muka ka’bah. Dengan demikian Abdulah urung jadi qurban.


Karena peristiwa itu pada waktu nabi SAW telah beberapa tahun lamanya menjadi utusan Allah, Rasulullah pernah bersabada, “Aku adalah anak laki-laki dari dua orang disembelih.” Maksud Rasulullah, beliau adalah keturunan dari nabi Ismail AS, yang juga akan disembelih tapi lalu diganti Allah dengan kibar, dan anak Abdullah, yang juga akan disembelih tapi kemudian diganti dengan seratus ekor unta.  

Dikutip Majalah Yatim Mandiri/Edisi September 2017

artikel

Keikhlasan Dan Pengorbanan Oleh: Drs. Usman Daud, M. A (konsultan hukum Islam dan Keluarga)

17.01

Firman Allah: tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan kami panggilah dia: “hai Ibrahim. Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan (Qibas) yang besar”. QS. As-Shoffat/37:103-107.

Dalam cara faham tentang ikhlas menurut kalangan Salaf, mereka berkata: Ikhlas itu adalah suatu amal yang dilakukan hanya untuk Allah yang jauh dari sikap dan sifat riya’ dan sum’ah. Pengorbanan berasal dari kata korban yang berarti persembahan, sehingga pengorbanan berarti pemberian untuk menyatakan kebaktian. Dengan demikian pengobanan yang bersifat kebaktian itu mengandung unsur keikhlasan yang tidak mengharapkan suatu imbalan maupun pamrih dari orang lain.

Pengorbanan merupakan akibat dari pengabdian. Pengorbanan dapat berupa harta benda, pikiran dan perasaan, bahkan dapat berupa jiwanya. Pengorbanan diserahkan secara ikhlas tampa pamrih, tanpa ada perjanjian, tanpa ada transaksi, kapan saja diperlukan. Pengabdian lebih banyak menunjuk pada perbuatan sedangkan pengorbanan lebih banyak menunjuk pada pemberian sesuatu misalnya berupa pikiran, tenaga, biaya, dan perasaan. Dalam pengabdian selalu dituntut pengorbanan, tetapi pengorbanan belum tentu menuntut pengabdian.

Sebagai ciptaan tuhan wajib mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian berarti penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan, dan merupakan perwujudan tanggunggjawab kepada Tuhan. Akan halnya apa yang dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim dan Ismail adalah amaliya monumental yang menuntut keikhlasan dalam pengorbanan bahkan merupakan puncak dari semua bentuk pengabdian dan pengorbanan yang pernah ada dimuka bumi. Para ulama yang mengajarkan tentang nilai-nilai tauhid dalam pengorbanan mereka berkata: “Ibrahim dan Ismail melakukan sesuatu perbuatan yang kecil yang menjadi jalan untuk menuju pada sesuatu yang lebih besar dan lebih bermakna yakni penghambaan diri kepada Allah secara total, utuh dan tidak bertepi dan memiliki komitmen yang unggul yang melahirkan kebersamaan, cinta, kasih, dan sayang. Semua itu untuk mewujudkan nilai-nilai spiritual berupa mahabbatullah, jangan sampai cinta mengalami degradasi dan jatuh pada mahabbatullah adna (cinta yang rendah dan tidak bermakna). Baca QS. al-An’am/6: 163.

Dalam hikmatut tasyri’ Allah swt menjadikan Qurban dengan keikhlasan yang tinggi sebagai salah satu dari syi’ar- syi’ar Allah di dalam agama-Nya karena memiliki tujuan yang amat tinggi yaitu taqrrub kepada Allah Swt dan mencari ampunan dan keridoaan-Nya. Tidak lepas dari itu semua, keikhlasan dan pengorbanan memiliki nilai-nilai sosial yang tinggi dan hubungan yang harmonis dengan orang yang lebih baik dalam iman, akhlak, maupun ekonomi. Takutlah kita kepada Allah dari do’a dua orang makhluk yang paling lemah di muka bumi ini yaitu orang-orang yang janda dan orang-orang yanh miskin. Wallahu a’lam.        
Dikutip majalah Yatim Mandiri/Edisi September 2017

Popular Posts